Perbedaan Moral dan Akhlaq
Kebanyakan orang tidak bisa membedakan antara moral dengan Akhlaq. Moral yang identik dengan kebajikan, kedermawanan, sopan santun, senyum, sapa, hormat dan sikap-sikap terpuji lainnya disebut juga Akhlaq.
Jika Akhlaq selalu identik dengan kenyamanan, ketenangan, kedamaian, apakah para mujahid yang berperang dan membunuh di jalan Allah tidak berakhlaq?. Atau seorang mujahid yang siap meninggalkan Anak dan istri demi panggilan jihad, dia tidak berakhlaq?.
Moral adalah kecenderungan sikap manusia, ia berpotensi selalu ingin berbuat kebajikan. Namun belum terjamin dia mendapat nilai dari Allah, karena tindakannya berdasar instink belaka. sementara Akhlaq adalah sikap seseorang yang berlandaskan Aqidah dengan kesiapan menjalankan Syari’at. Seorang Nabi Ibrahim As yang siap menjalankan perintah Allah, yaitu menyembelih putranya, Ismail adalah Akhlaq mulia.
Membangun Suatu Bangsa Seperti Membangun Suatu Masjid,
Antara “membangun bangsa” dengan “membangun sarana masjid/musholla”, sampai akhirnya terjadilah saat “lipat sajadah” yang kemudian menginspirasi artikel ini.
Judul di atas sepertinya memang sesuatu banget dengan kata “suatu”, tapi bukan tanpa alasan dalam menuliskannya. Kata “suatu” memiliki makna yang kurang lebih menyatakan dalam menunjukan hal yang tidak tentu. Demikan halnya dengan kalimat “Suatu Bangsa” dan “Suatu Masjid” diatas.
Kata “Suatu Bangsa” menunjukan bahwa bangsa manapun (tidak ditentukan) bisa membangun kehidupannya seperti membangun masjid. Sedangkan kata “Suatu Masjid” menunjukan bahwa hakikatnya atau selayaknya masjid bisa menjadi contoh filosofis dalam membangun bangsa, namun memang tidak semua masjid (makanya digunakan kata “suatu”) memiliki makna filosofis demikian karena kadang tidak dibangun dengan “selayaknya”, contoh: Ada seorang koruptor yang membangun masjid dari hasil korupsi, ini jelas sangat tidak layak dan tidak memiliki filosofi membangun bangsa.
Sedangkan kata “sesuatu (se·su·a·tu)” sendiri yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti juga sebagai “ yang ada padanya sangat dibutuhkan oleh orang lain”. Jadi, kalau “Sesuatu Banget”, bisa jadi itu sangat dibutuhkan sekali.
Sederhananya, opini mengatakan bahwa membangun suatu bangsa seperti membangun suatu masjid itu sangat dibutuhkan sekali. Berikut uraian opininya;
Dibangun Dari Uang Halal
Disini mungkin akan muncul satu pertanyaan ; “Bagaimana kalau membangun masjid dari uang haram?”. Kita bisa menjawabnya dengan satu kaidah umum “Innallaha thayyibun la yaqbalu illa thayyiban.” ( Allah adalah baik dan hanya menerima dari yang baik ).
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya.” ( HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim )
Jelas, bahwa dihadapan Allah SWT kita tidak bisa “mencuci uang” hasil korupsi dan lain sejenisnya.
Demikian halnya dengan membangun suatu bangsa, tidak akan suatu bangsa menjadi Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur, yaitu bangsa yang adil dan makmur, serta diberkati oleh Allah SWT, jika dibangun dengan menentang aturan-Nya. Jadi, untuk menjadi bangsa yang diberkati oleh Allah SWT sudah barang tentu kita harus membangunnya dengan mengikuti aturan-Nya.
Dibangun Dari Amal Jariyah dan Gotong Royong.
Sering merasa dan melihat jika masjid atau musholla yang dibangun dari hasil amal jariyah dan gotong royong jauh lebih berkesan dibanding masjid yang dibangun sendirian. Mohon maaf kalau ini keliru.
Pembangunan suatu masjid tidak hanya berarti pembangunan fisiknya juga, tapi harus ada pembangunan kemakmurannya juga. Makmurnya masjid yaitu ketika tidak pernah ditinggalkan oleh jama’ahnya, dan berhasil membangun semangat keimanan pada jama’ahnya.
Demikiannya dengan suatu bangsa, tidak bisa bangsa tersebut menjadi kokoh dan kuat jika hanya dibangun oleh satu dua orang. Harus banyak orang yang terlibat pembangunan didalamnya, masing-masing harus mengambil peran yang konstruktif.
Dibangun Dengan Transparansi
Dalam waktu tertentu (misal: setiap hari Jum’at sebelum sholat jum’at), Panitia Pembangunan Masjid (Panpel) atau Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) selalu mengumumkan rekapitulasi dan pengelolaan anggaran masjid. Jarang sekali ada Panpel atau DKM yang disumpah jabatan dalam mengemban tugas sebagai orang yang dipercaya masyarakat, dan sepertinya (insya Allah) hampir tidak pernah orang-orang yang dipercaya tersebut memakan uang sumbangan dari umat untuk pengelolaan masjid.
Mereka percaya, meskipun tidak disumpah jabatan, dalam sehari minimal mereka bersumpah sebanyak lima kali dihadapan Allah SWT melalui shalat lima waktunya. Bersumpah atas Tuhan dan Rasul-Nya, bersumpah atas hidup dan matinya, bersumpah atas amal dan ibadahnya.
Bayangkan, kalau saja pengelola negeri ini transparan dalam membangun bangsa, dan takut kepada Allah SWT. Akan sangat jauh luar biasa pembangunannya. (di negeri ini para pemimpin kita mudah-mudahan BISA!!)
Dibangun Untuk Membangun
Inilah luar biasanya Masjid, tidak dibangun untuk dijadikan hiasan atau pajangan. Masjid dibangun untuk selanjutnya harus menjadi peran sebagai jantung pembangunan moral dan spiritual jama’ahnya.
Seharusnya, suatu negara atau bangsapun dibangun supaya bisa mensejahterakan masyarakatnya, bukan menjadi satu basis kesengsaraan sekumpulan manusia.
Penuh Kesetaraan
Siapapun yang masuk kedalam masjid, sandal atau sepatunya harus dilepas, tak terkecuali pejabat tinggi, presiden, atau raja sekalipun. Baik imam maupun makmum tidak ada yang menggunakan sepatu ataupun sandal. Kita semua tahu itu, tapi pernahkah kita terbayangkan kalau itu juga memiliki pesan moral dalam membangun hukum suatu bangsa?.
Dari sini kita bisa mengambil contoh bagaimana seharusnya suatu bangsa dalam menegakkan hukum. Merata, tidak ada pilih kasih, mau kaya ataupun miskin dihadapan hukum sama, tidak ubahnya ketika kita memasuki masjid.
Meluruskan dan Merapatkan Barisan
Ketika shalat berjama’ah, kita diperintahkan untuk meluruskan dan merapatkan shaf (barisan shalat).
Ketika akan menuju dan sampai di masjid, ada diantara jama’ah yang membawa sajadah dan kebetulan lebar, kalau salah satu di sampingnya tidak membawa sajadah, saat akan di mulai pelaksanaan shalat berjama’ah biasanya digelar membagikan pada sisi sampingnya, atau melipat sajadah meskipun dipakai cukup sebagai alas sujud saja, dengan alasan supaya lebih rapat dalam barisan shalat.
Untuk menjaga persatuan bangsa, kita bisa juga mengambil pesan moral dimaksud untuk merapat akan barisan diatas ketegasan dan keadilan hukum. Buang semua sifat-sifat individu yang hanya akan mendorong kita menjadi bangsa yang hedonis (kenikmatan dan kesenangan semata ... ).
Kepatuhan dan Saling Mengingatkan
Ada satu peranan penting yang selalu ada didalam masjid ketika kita shalat berjama’ah, yaitu Imam atau pemimpin dalam shalat berjamaah dengan ilmu yang lebih matang daripada jama’ahnya. Syarat mutlak imam adalah adanya makmum (jama’ah). Tidak ada ceritanya ketika seorang imam sujud maka makmumnya takhyat akhir. Akan tetapi ketika Sang Imam salah atau khilaf dalam gerakan atau bacaan dalam shalat, maka makmum wajib mengingatkannya (dengan kalimat Subhanallah) dan imampun menerimanya dengan dasar kepatuhan atas aturan Allah.
Dalam membangun suatu bangsa, disini kita bisa mengambil pelajaran wajib hukumnya memiliki pemimpin yang tentunya dengan kriteria kematangan ilmu seperti hal-nya seorang imam. Wajib bagi rakyat (jama’ah) untuk mematuhinya. Wajib bagi rakyat untuk mengingatkan ketika sang pemimpin salah ataupun khilaf. Dan tentunya, wajib juga bagi sang pemimpin untuk menerima masukan yang mengingatkan atas kesalahannya dengan dasar kepatuhan pada hukum dan ketaatan sebagai manusia yang ber Ketuhanan (Allah SWT).
Wallahu A'lam Bishawab (والله أعلمُ بالـصـواب )
sumber: media kajian agama Islam
berbuat baik itu indah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar