idul adha 1440 H
(tim al-fudhola graha prima)
Pada saat ini,
umat muslim dari seluruh penjuru dunia, dari beragam suku, beraneka budaya,
bermacam warna, pria maupun wanita, berkumpul memenuhi panggilan Allah
melaksanakan ibadah haji. Saat ini, saudara-saudara kita berada di Mina,
di Muzdalifah, melakukan wuquf di Arafah seharian. Mereka datang ke tanah suci
Mekah untuk memenuhi panggilan Allah.
“Aku datang memenuhi panggilanMu, Ya Allah.
Aku datang memenuhi PanggilanMu. Tiada Sekutu bagiMu. Sesungguhnya segala
pujian, kenikmatan hanya milikMu, dan juga kerajaan. Tiada Sekutu bagiMu.”
Adapun umat
muslim lainnya yang tidak melaksanakan ibadah haji, ikut larut dalam meyambut
hari besar hari raya Idul Adha, hari raya kurban. Seluruh umat muslim turut
menggemakan kalimat takbir, kalimat tahmid sebagai wujud ketaatan dan pengakuan
seorang hamba akan kebesaran dan keagungan Allah SWT, Tuhan semesta alam raya.
Hari raya Idul
Adha atau hari raya kurban tidak dapat terlepas dari kisah teladan yang
digambarkan dalam Al-Qur’an melalui seorang yang mulia yaitu Nabi Ibrahim AS
yang mampu menjalankan perintah Allah SWT untuk mengorbankan anaknya Nabi
Ismail dengan cara menyembelihnya. Namun, pada akhirnya tanpa diduga, Allah
mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba yang gemuk. Sungguh sangat luar
biasa, ujian yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Dapat kita
bayangkan, seorang nabi pun mendapatkan ujian dari Allah SWT, apalagi kita
sebagai manusia biasa. Hal ini, menunjukkan bahwasanya keislaman, keimanan dan
ketakwaan kita akan terus diuji oleh Allah SWT untuk melihat di mana, pada
level apa dan kualitas apa kita berada.
Pada kali ini
hari raya Idul adha 1440 H. kita sebagai bangsa Indonesia sekaligus akan
memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Sebuah kemerdekaan yang tidak
dicapai dengan satu malam, namun butuh perjuangan selama bertahun-tahun,
berpuluh-puluh tahun dan beratus-ratus tahun lamanya. Perjuangan pada pendahulu
dan pejuang kita tersebut, tentu tanpa henti dan tak kenal lelah. Adapun
pengorbanan para pejuang kita juga tak terhitung dan tak ternilai. Mereka
berkorban fikiran, tenaga, waktu, anak, isteri, saudara, harta, bahkan jiwa
raga turut dikorbankan. Sehingga, dengan rahmat Allah SWT dan pengorbanan para
pejuang, Indonesia dapat meraih kemerdekaan.
Idul
Adha ini adalah pelajaran pengorbanan, pengorbanan yang dicontohkan
oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS dalam mengorbankan sesuatu yang paling
dicintai karena Allah Azza wa Jalla.
Namun, bagi
sebagian kita, mungkin berkorban adalah sesuatu yang tidak rasional, suatu hal
yang tidak logis. Bagaimana mungkin, kita memberi dan mengorbankan harta kita
yang telah kita raih dengan susah payah. Kok enak sekali, kita bekerja keras,
banting tulang, kemudian kita korbankan untuk orang lain. Inilah mungkin logika
banyak dimiliki manusia saat ini, maka pantaslah kita menyaksikan beragam
krisis terjadi. Bagi orang Muslim, mu’min, logika tersebut adalah logika yang
salah, Bagi orang Muslim, mu’min, logika yang benar adalah:
pertama: “pemberi rizki adalah Allah SWT”
Allah berfirman:
Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya
mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezki yang
mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. (Al-Dzariyat
56-58)
Jika pemberi
rizki satu-satunya adalah Allah, jika pemberi kemudahan satu-satunya adalah
Allah, maka jalan yang paling masuk akal untuk mendapatkan rezeki,
mendapatkan kemudahan adalah dengan meminta kepada-Nya, berharap kepada-Nya.
Maka Allah
berjanji, jika mau tambahan rizki dan kemudahan yang tidak dapat kamu
bayangkan, maka jalannya adalah ketakwaan yaitu jalan mengikuti
perintahNya, menjauhi laranganNya. Allah SWT berfirman.
Barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.
(Al-Thalaq 2-3).
Dan
barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya.(Al-Thalaq 4)
Kedua: orang
muslim, mu’min meyakini bahwa “kadar
rizki setiap orang sudah ditentukan”
Allah SWT
berfirman.
Dan
Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki,
(An-Nahl 71)
Jika kadar rizki
sudah ditentukan berbeda-beda, maka apalah guna dengki hati, iri hati, sakit
hati kepada orang lain. Toh semua sudah diberi jatah terbaiknya sesuai kadar
keperluan dirinya, kadar keperluan keluarganya oleh Allah SWT. Bukankah Allah
Maha Mengetahui segala kebutuhan kita?
Kalau rizki kita
sudah dijamin dan ditentukan kadarnya oleh Allah, kenapa kita menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan rizki, kenapa kita sibuk-sibuk menjerumuskan diri
ke dalam pekerjaan yang dimurkai Allah. Sungguh sangat tidak masuk dalam logika
seorang muslim, takut kelaparan, takut kekurangan, takut kekurangan karena
meninggalkan pekerjaan yang haram, toh Allah sudah menjaminnya, toh kadar rizki
kita juga sudah ditentukan. Dan tentunya, jika kadar rizki sudah dijamin dan
ditentukan, kenapa kita enggan berkorban, karena pengorbanan yang keluarkan,
tidak akan mengurangi sedikitpun kadar rizki kita, bahkan Allah berjanji akan
menambahnya.
Ketiga: walaupun sudah ditentukan kadar rizki, orang
muslim, mu’min faham betul bahwa “rizki harus dicari dan harus diusahakan”.
Allah SWT
berfirman:
Apabila
telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung
(Al-Jum’ah 10)
Jika pemberi
rizki hanya Allah, kadar rizki sudah ditentukan dan kita diwajibkan untuk
berusaha mencarinya, maka yang ada bagi kita hanyalah berusaha keras, bekerja
keras, berfikir keras, berkarya besar. Pendek kata, yang perlu difikirkan oleh
seorang muslim adalah bagaimana berkorban semaksimal mungkin karena Allah.
Tidak perlu berfikir saya dapat apa? Dapat berapa? Toh hal itu Allah yang
mengatur untuknya. Dalam bahasa pondok (jawa): Bondo, Bahu, Pikir, yen Perlu sak nyawane pisan. Inilah bahasa
pengorbanan secara total, berkorban harta, tenaga, fikiran, kalau perlu
nyawapun dikorbankan, demi amanah dari Allah SWT.
Maka dari itu,
ciri seorang muslim adalah totalitas dalam menjalankan amanah yang
sedang diembankannya, baik sebagai pemimpin, sebagai pendidik/pengajar, sebagai
pegawai pemerintah maupun swasta, sebagai pedagang, sebagai petani, bahkan
sebagai buruh kecilpun, Seorang muslim akan selalu berbuat total, berjuang dan
berkorban. Bukan sebaliknya, mencari keuntungan sendiri, mengorbankan orang
lain, dan bahkan mendzalimi orang lain untuk kepentingan diri
sendiri. Hal ini tidak perlu bagi seorang muslim, karena baginya, hanya Allah lah
yang akan mencukupinya lahir batin, dunia dan akhirat.
Namun demikian,
ujian terhadap logika Islam ini akan selalu ada, ujian terhadap pengorbanan
yang kita lakukan, ujian terhadap keimanan dan ketakwaan kita, bahkan ujian
terhadap keikhlasan akan terus ada. Allah dalam surat
Yusuf mengabadikan nasehat Ya’kub kepada anak-anaknya
Jangan
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari
rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (Yusuf 87)
Dalam ayat lain
Allah SWT berfirman:
Dan
bagi mereka yang berjuang untuk (mencari keridhaan) Kami, Kami akan tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
berbuat baik. (Al-Ankabut: 69)
Lantas, sudahkan
kita mau dan siap berkorban untuk umat, untuk bangsa, untuk pondok, dan untuk
tempat yayasan anak yatim atau dhu’afa dengan lillahi ta’ala. Berkorban
fikiran, tenaga, harta dan perasaan. Kesiapan diri untuk berkorban sangatlah
ditentukan oleh idealisme, cita-cita dan orientasi hidup kita. Bila hidup kita,
kita niatkan untuk berjuang dan memperjuangkan agama Allah, maka tidaklah akan
terasa berat untuk berkorban. Ini adalah masalah keyakinan, keimanan dan
ketaqwaan kita kepada Allah SWT, besar atau kecil. Keyakinan bahwa jika kita
mau memikirkan orang lain, membantu orang lain, pasti Allah SWT akan memikirkan
dan membantu kita. Apalagi jika kita siap memperjuangkan agama Allah, pastilah
Allah akan menjamin hidup kita dan memperjuangkan urusan kita. Inilah logika
religi, logika Allah SWT.
Sebaliknya,
betapa akan terasa berat untuk melakukan hal-hal tersebut di atas, bila kita
menjadi manusia pragmatis (bermanfaat), individualis apalagi oportunis. Model
manusia seperti ini, yang dipikirkan hanyalah mencari keuntungan materi dan
keuntungan dirinya sendiri. Sikap hidupnya selalu berhitung untung rugi, kaya
miskin, apa yang didapatkan, bukan apa yang dipersembahkan. Inilah musuh
perjuangan, musuh pengorbanan. Karena sesungguhnya tidak ada orang yang kaya
karena pelit, dan miskin karena dermawan Pelit yang dimaksud tidaklah
terbatas pada pelit terhadap materi, tetapi pelit terhadap fikiran, tenaga dan
perasaan.
Semoga kita
semua termasuk orang-orang yang Istiqomah dalam berjuang, berkorban
dan berbuat baik di jalan Allah SWT. Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar